Seorang ayah yang hidupnya mapan, terperangah dengan ulahnya sendiri. Suatu waktu ia mendampingi anaknya yang sedang melukis. Anaknya masih TK tetapi sudah mampu merekam apa yang dia lihat di sekitarnya termasuk perlakuan ayahnya. Sang ayah bertanya, “Gambar apa yang sedang kamu buat, Nak?” Kata anaknya, “Ini rumahku nanti kalau sudah besar. Ini adalah taman, baru ada kolam renang, dan di belakang ada gudang.”
“Ruangan besar apa ini?” Sergah ayahnya dengan semangat dan gembira melihat perkembangan anaknya. “Ini kamarku, lalu di depannya ada ruang tamu yang besar,” kata sang anak menerangkan. Ayahnya bertanya lagi, “Lalu ruangan yang kecil ini untuk siapa?” Di luar perkiraan ayahnya, anak ini menjawab dengan lugas dan polos, “Ini adalah kamar untuk Ayah. Sama seperti kamar kakek di atas, ya kan Ayah?”
Lalu ayahnya sedih. Kenapa ruang untuk ayah begitu sempit? Dia baru menyadari, kalau ternyata dia salah menempatkan ayahnya di kamar yang sempit di lantai dua. Meski baru dalam angan-angan anaknya yang belum tentu terjadi, ayah ini sudah sedih dan menyesal akibat perlakuannya kepada ayahnya. Sehingga gambaran itulah yang terekam dalam benak anak-anaknya.
Dalam kasus lain, seorang guru TK memberikan tugas kepada anak-anak di sekolah. Anak-anak diminta untuk menuliskan keluarga yang terdiri dari papa, mama, adik, dan kakak, di bawah masing-masing gambar. Namun, seorang anak ternyata tidak menuliskan kata “Mama” di bawah gambar seorang perempuan yang menggendong anak. Saat ditanya oleh gurunya, “Kenapa kolom ini dikosongkan, Nak?” Sang anak menjawab, karena yang menggendong anak itu bukan ibunya, tetapi pembantunya di rumah.
Demikianlah dua buah cerita yang dituangkan K.H. Bachtiar Nasir dalam bukunya “Masuk Surga Sekeluarga”. Fenomena repetisi cara seorang anak berbakti, seperti cara sang ayah memperlakukan kakeknya. Yuk kenali hak orangtua dan anak selengkapnya, klik, Hak Orangtua dan Anak.