Meila adalah sebuah nama sederhana, yang pemiliknya telah tiada. Sebagaimana orang lain, ia pun pernah menjalani hidup dengan setiap episodenya. Tapi, yang kemudian tidak ia tahu adalah ketika panggilan namanya berusia lebih panjang dari usianya. Nama itu ‘Meila’ tetap dapat mengilhami setiap orang yang membaca kisahnya.
Rofiqo Meila Sari, anak saya yang ketiga dari lima bersaudara, lahir tanggal 18 Mei 1987. Pada anak-anak saya itu, saya menyimpan harapan yang sama, yakni mereka mencapai pemahaman agama yang baik dan meningkat terus. Pada anak-anak, saya lebih banyak mencontohkan untuk dekat pada agama melalui perbuatan sehari-hari. Misalnya, dengan melihat orangtuanya shalat malam, shalat dhuha, dan puasa sunnah, anak-anak pun akan ingin melakukannya, setelah mengetahui kebaikan dibalik ibadah-ibadah itu.
Tapi ternyata yang paling kelihatan amat dekat dengan agama adalah Meila, dialah yang rajin dan konsisten melakukan shalat malam, dhuha, puasa Nabi Daud, puasa sunnah Senin Kamis, dan lainnya. Di bulan Ramadhan, terutama Ramadhan lalu, dia jarang berada di rumah karena i’tikaf di masjid. Saya tanyakan, mengapa sampai demikian giat beri’tikaf, dia menjawab ingin memanfaatkan sebaik-baiknya kesempatan beribadah di bulan yang penuh keberkahan itu, apalagi kesempatan untuk beribadah di bulan itu akan datang atau tidak, kita kan tidak tahu.
Banyak kebaikan dan keunikan Meila yang saya rasakan. Dengan cara yang lembut, sambil meminta maaf, dia dapat berdiskusi berbagai hal mendalam bahkan menasehati saya. Dan saya memperhatikan pendapat-pendapatnya, karena saya melihat kepribadian yang cukup matang dan bertanggung-jawab. Terhadap saudara-saudaranya Meila juga perhatian. Bagi kami, Meila adalah pelita keluarga (terdiam).
Saya bahagia dan hati saya tenang, karena meski dia masih muda, namun saya bisa mempercayainya. Hingga saya lebih banyak berpesan dan mewanti-wanti pada adiknya. Kalau adiknya meminta ijin mendatangi suatu tempat, saya banyak berpesan, jangan pulang terlambat, jangan main dulu setelah acara selesai. Kalau dengan Meila, saya tidak melakukan itu. Saya mempercayainya dan yakin dengan apa yang dia lakukan. Saya mengetahui kepribadian dan akhlaknya sehari-hari.
Ketika membaca buku harian Meila setelah kepergiannya, saya terenyuh. Di buku itu dia mempertanyakan “perbedaan” perlakuan itu. Dia menulis mengapa kalau adiknya akan pergi selalu dikomentari, sedangkan dia tidak. Rupanya dia mempunyai perasaan lain yang dia tuangkan dalam buku itu. Saya sedih saat membacanya. Saya menangis. Ya Allah tidak ada maksud seperti itu. Saya berdoa, “Meila maafkan Mama kalau kamu mempunyai perasaan itu. Tapi itu karena Mama sangat percaya pada Meila.”
Baca kisah selengkapnya, klik Meila.
~
Sumber ilustrasi foto:
https://thejusticefighter.blogspot.com/ (atas seizin pemilik)